DesiranHati

Hati dan Akal Perlu DiSatukan

HIKMAH DI SEBALIK DUGAAN ALLAH

ORANG yang ditimpa sesuatu bencana hendaklah tabah menghadapinya. Ia adalah ketentuan dan ujian Allah kepada umatnya. Ada banyak hikmat di sebalik sesuatu ujian atau dugaan yang diberikan Allah kepada umat manusia.

Rasulullah menerangkan dalam beberapa hadis mengenai perkara itu, antaranya:

Abu Sa’id al-Khudri dan Abu Hurairah berkata, bahawa Rasulullah bersabda: “Tidak ada sesuatu yang menimpa seseorang Islam sama ada kepenatan, kesakitan, kesusahan memikirkan perkara yang akan datang, kedukaan, sesuatu yang menyakiti atau kesusahan mengingatkan apa yang telah berlaku hinggakan tikaman duri yang mencucuknya, melainkan Allah hapuskan dengan sebabnya sebahagian daripada dosanya.” (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim)

Abdullah bin Mas’ud berkata, Rasulullah bersabda: “Tidak ada seseorang Islam yang ditimpa sesuatu yang menyakiti, iaitu penyakit atau lainnya, melainkan Allah gugurkan dengan sebab itu dosa-dosanya, sebagaimana pokok menggugurkan daunnya (pada musimnya yang tertentu).” (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim)

Anas berkata, Rasulullah bersabda: “Bahawa besarnya sesuatu balasan itu menurut besarnya sesuatu bencana ujian; dan bahawa Allah apabila mengasihi sesuatu kaum diuji mereka; kemudian sesiapa yang menerima ujian itu dengan reda, maka dia akan beroleh keredaan Allah, dan sesiapa yang bersikap keluh kesah serta benci menerima ujian itu, maka dia akan mendapat kemurkaan dari Allah.” (Hadis riwayat at-Tarmizi dan Ibn Majah)

Syaddad bin Aus dan Al-Sunabihi berkata, bahawa kedua-duanya masuk melawat seorang sakit, lalu mereka bertanya kepadanya: “Bagaimana keadaanmu pagi ini?” Dia menjawab: “Aku berada dalam keadaan baik.” Syaddad berkata kepadanya: “Bergembiralah engkau dengan perkara-perkara yang menghapuskan dosa-dosa dan menggugurkan kesalahan, kerana aku telah mendengar Rasulullah bersabda: �Sesungguhnya Allah berfirman yang bermaksud: �Apabila Aku menguji seseorang daripada hamba-Ku yang mukmin dengan sesuatu penyakit, lalu ia memuji-Ku kerana ujian-Ku itu maka sesungguhnya dia akan bangkit dari tempat baringnya itu seperti masa dia dilahirkan oleh ibunya, bersih daripada segala kesalahan’, dan Allah berfirman kepada malaikat penulis amal orang itu: �Aku telah mengikat hamba-Ku itu dan telah mengujinya, maka lakukanlah kepadanya apa yang kamu biasa lakukan untuknya (menulis amal baiknya) ketika dia berkeadaan sihat.” (Imam Ahmad)

Anas berkata, Rasulullah bersabda: “Jangan sekali-kali seseorang kamu bercita-cita hendakkan mati kerana sesuatu bencana yang menimpanya; kalau keadaan mendesaknya meminta mati, maka hendaklah dia memohon dengan berkata: ‘Ya Tuhanku, hidupkan aku selagi hidup itu lebih baik bagiku, dan matikanlah aku apabila mati itu lebih baik bagiku.” (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim)

Segala bencana, penyakit, kesusahan atau kerunsingan yang menimpa tubuh badan atau akal fikiran seseorang mukmin adalah menjadi “Kaffarah” (penghapus) kekotoran dosa dan kesalahan orang yang ditimpa bencana itu.

Sesiapa yang menyifatkan bala bencana yang menimpanya sebagai nikmat dan menerimanya dengan reda akan mendapat balasan pahala daripada Allah, selain terhapus kekotoran dosa dan kesalahannya.

3 November 2009 Posted by | Uncategorized | | 1 Komen

WAJAH KEJUJURAN

Tahukah saudara sebenarnya hanya dengan menatap wajah seseorang ketika di dalam keadaan minda bawah sedar, kita boleh memberikan/menerima mesej kepada/daripada tuan empunya wajah tersebut?

Sejak kecil saya suka menatap orang yang saya sayang iaitu ayah dan ibu semasa mereka tidur. Melihat wajah mereka sedang tidur cukup memberikan keinsafan kepada diri saya.

Kini setiap malam saya menatap wajah dua orang yang saya sayang ketika mereka sedang tidur, Isteri dan anak. Saya akan menatap wajah mereka berdua sepuas-puasnya sambil berfikir, adakah harapan untuk aku melihat wajah mereka lagi pada hari esok?

***
Melihat wajah-wajah orang yang kita sayang merupakan salah satu cara untuk membangunkan semula rasa cinta kita kepada mereka. Getaran cinta dari wajah mereka cukup jujur ketika tidur. Ekspresi mereka ketika tidur merupakan ekspresi sebenar perasaan mereka ketika itu. Kegembiraan, kebahagiaan, kesedihan, keletihan, kekusutan dan sebagainya jelas kelihatan di wajah mereka ketika ini. Sangat jujur kelihatannya.

Dahulu semasa arwah ayah masih ada, saya pasti akan menitiskan air mata melihat wajah ayah ketika tidur. Wajah tua yang menggambarkan betapa sukarnya arwah ayah meniti kehidupannya membesarkan anak-anak yang berjumlah seramai 10 orang. Hanya bekerja sebagai penoreh getah dan mengambil upah meracun ladang, jelas kelihatan hari-hari yang dilalui oleh ayah cukup payah.

Raut wajahnya ketika tidur mampu menceritakan segala-gala apa yang ada di dalam hatinya. Getaran frekuensi jiwa mereka mampu menggetarkan jiwa sesiapa yang menatap wajah mereka.

Melihat wajah ibu ketika tidur membayangkan segala pengorbanan ibu kepada kita. Ibu seolah-olah pesuruh dan kita adalah raja ketika kita kecil. Banyak kemahuan kita yang diikuti oleh ibu walaupun banyak kemahuan ibu yang kita tidak turuti. Wajah ibu ketika tidur benar-benar mengungkapkan kejujuran pengorbanannya. cukup menginsafkan diri kita.

Wajah isteri ketika tidur menggambarkan betapa jujurnya beliau hidup bersama-sama dengan kita. Saya akan menangis semasa menatap wajah isteri ketika tidur jika ada perselisihan faham dengan isteri sebelum beliau tidur. Wajahnya menggambarkan hati lembut yang telah diguris [isteri tidak mengetahui hal ini]. Semangat kasih dan sayang pada isteri akan meningkat semula jika menatap wajah mereka sedang tidur.

Wajah anak ketika tidur cukup membahagiakan. Wajah mereka merupakan wajah pengharapan. Mengharapkan kasih sayang akan terus diberikan kepada mereka. Jika mereka dimarahi sebelum tidur, terselah wajah kesedihan dan juga kadang-kadang terlihat wajah kemaafan dari mereka.

***
Renung dan tataplah wajah orang-orang yang kita sayang. Wajah-wajah ini memberikan getaran perasaan yang dapat menelusi jiwa kita. Seolah-olah mereka memberikan mesej terpendam mereka kepada kita yang selama ini mereka diamkan demi untuk menjaga hati kita.

Wajah-wajah mereka ketika tidur memberitahu kita kejujuran pengorbanan yang mereka berikan demi untuk kebahagiaan kita. Wajah-wajah ini mengingatkan kita kenangan-kenangan kita bersama mereka.

Maha Suci Allah yang memberikan kejujuran perasaan ketika tidur melalui wajah kita.

Dan akhirnya, ingatlah bagaimana rasanya jika kita tidak dapat lagi melihat wajah-wajah mereka di hari yang mendatang. Kita tidak lagi mampu menatap wajah yang mengungkapkan perasaan dengan penuh kejujuran.

3 November 2009 Posted by | Uncategorized | | 1 Komen

MEMAHAMI TAKDIR ILLAHI

Beriman kepada Takdir

Kaum muslimin yang semoga dimuliakan oleh Allah ta’ala, salah satu rukun iman yang wajib diimani oleh setiap muslim adalah beriman kepada takdir baik maupun buruk.

Perlu diketahui bahwa beriman kepada takdir ada empat tingkatan:

1. Beriman kepada ilmu Allah yang ajali sebelum segala sesuatu itu ada. Di antaranya seseorang harus beriman bahwa amal perbuatannya telah diketahui (diilmui) oleh Allah sebelum dia melakukannya.
2. Mengimani bahwa Allah telah menulis takdir di Lauhul Mahfuzh.
3. Mengimani masyi’ah (kehendak Allah) bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah karena kehendak-Nya.
4. Mengimani bahwa Allah telah menciptakan segala sesuatu. Allah adalah Pencipta satu-satunya dan selain-Nya adalah makhluk termasuk juga amalan manusia.

Dalil dari tingkatan pertama dan kedua di atas adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al Hajj [22]: 70). Kemudian dalil dari tingkatan ketiga di atas adalah firman Allah (yang artinya), “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwir [81]: 29). Sedangkan untuk tingkatan keempat, dalilnya adalah firman Allah (yang artinya), “Allah menciptakan kamu dan apa saja yang kamu perbuat.” (QS. Ash-Shaffaat [37]: 96). Pada ayat ‘Wa ma ta’malun’ (dan apa saja yang kamu perbuat) menunjukkan bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Allah.

Macam-Macam Takdir

Takdir itu ada 2 macam:

[1] Takdir umum mencakup segala yang ada. Takdir ini dicatat di Lauhul Mahfuzh. Dan Allah telah mencatat takdir segala sesuatu hingga hari kiamat. Takdir ini umum bagi seluruh makhluk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan Allah adalah qalam (pena). Allah berfirman kepada qalam tersebut, “Tulislah”. Kemudian qalam berkata, “Wahai Rabbku, apa yang akan aku tulis?” Allah berfirman, “Tulislah takdir segala sesuatu yang terjadi hingga hari kiamat.” (HR. Abu Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud).

[2] Takdir yang merupakan rincian dari takdir yang umum. Takdir ini terdiri dari:

(a) Takdir ‘Umri yaitu takdir sebagaimana terdapat pada hadits Ibnu Mas’ud, di mana janin yang sudah ditiupkan ruh di dalam rahim ibunya akan ditetapkan mengenai 4 hal: (1) rizki, (2) ajal, (3) amal, dan (4) sengsara atau berbahagia.

(b) Takdir Tahunan yaitu takdir yang ditetapkan pada malam lailatul qadar mengenai kejadian dalam setahun. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan [44]: 4). Ibnu Abbas mengatakan, “Pada malam lailatul qadar, ditulis pada ummul kitab segala kebaikan, keburukan, rizki dan ajal yang terjadi dalam setahun.” (Lihat Ma’alimut Tanzil, Tafsir Al Baghowi)

Seorang muslim harus beriman dengan takdir yang umum dan terperinci ini. Barangsiapa yang mengingkari sedikit saja dari keduanya, maka dia tidak beriman kepada takdir. Dan berarti dia telah mengingkari salah satu rukun iman yang wajib diimani.

Salah Dalam Menyikapi Takdir

Dalam menyikapi takdir Allah, ada yang mengingkari takdir dan ada pula yang terlalu berlebihan dalam menetapkannya.

Yang pertama ini dikenal dengan Qodariyyah. Dan di dalamnya ada dua kelompok lagi. Kelompok pertama adalah yang paling ekstrem. Mereka mengingkari ilmu Allah terhadap segala sesuatu dan mengingkari pula apa yang telah Allah tulis di Lauhul Mahfuzh. Mereka mengatakan bahwa Allah memerintah dan melarang, namun Allah tidak mengetahui siapa yang taat dan berbuat maksiat. Perkara ini baru saja diketahui, tidak didahului oleh ilmu Allah dan takdirnya. Namun kelompok seperti ini sudah musnah dan tidak ada lagi.

Kelompok kedua adalah yang menetapkan ilmu Allah, namun meniadakan masuknya perbuatan hamba pada takdir Allah. Mereka menganggap bahwa perbuatan hamba adalah makhluk yang berdiri sendiri, Allah tidak menciptakannya dan tidak pula menghendakinya. Inilah madzhab mu’tazilah.

Kebalikan dari Qodariyyah adalah kelompok yang berlebihan dalam menetapkan takdir sehingga hamba seolah-olah dipaksa tanpa mempunyai kemampuan dan ikhtiyar (usaha) sama sekali. Mereka mengatakan bahwasanya hamba itu dipaksa untuk menuruti takdir. Oleh karena itu, kelompok ini dikenal dengan Jabariyyah.

Keyakinan dua kelompok di atas adalah keyakinan yang salah sebagaimana ditunjukkan dalam banyak dalil. Di antaranya adalah firman Allah (yang artinya), “(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwir [81]: 28-29). Ayat ini secara tegas membantah pendapat yang salah dari dua kelompok di atas. Pada ayat, “(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus” merupakan bantahan untuk jabariyyah karena pada ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak (pilihan) bagi hamba. Jadi manusia tidaklah dipaksa dan mereka berkehendak sendiri. Kemudian pada ayat selanjutnya, “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam” merupakan bantahan untuk qodariyyah yang mengatakan bahwa kehendak manusia itu berdiri sendiri dan diciptakan oleh dirinya sendiri tanpa tergantung pada kehendak Allah. Ini perkataan yang salah karena pada ayat tersebut, Allah mengaitkan kehendak hamba dengan kehendak-Nya.

Keyakinan yang Benar Dalam Mengimani Takdir

Keyakinan yang benar adalah bahwa semua bentuk ketaatan, maksiat, kekufuran dan kerusakan terjadi dengan ketetapan Allah karena tidak ada pencipta selain Dia. Semua perbuatan hamba yang baik maupun yang buruk adalah termasuk makhluk Allah. Dan hamba tidaklah dipaksa dalam setiap yang dia kerjakan, bahkan hambalah yang memilih untuk melakukannya.

As Safariny mengatakan, “Kesimpulannya bahwa mazhab ulama-ulama terdahulu (salaf) dan Ahlus Sunnah yang hakiki adalah meyakini bahwa Allah menciptakan kemampuan, kehendak, dan perbuatan hamba. Dan hambalah yang menjadi pelaku perbuatan yang dia lakukan secara hakiki. Dan Allah menjadikan hamba sebagai pelakunya, sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah” (QS. At Takwir [81]: 29). Maka dalam ayat ini Allah menetapkan kehendak hamba dan Allah mengabarkan bahwa kehendak hamba ini tidak terjadi kecuali dengan kehendak-Nya. Inilah dalil yang tegas yang dipilih oleh Ahlus Sunnah.”

Sebagian orang ada yang salah paham dalam memahami takdir. Mereka menyangka bahwa seseorang yang mengimani takdir itu hanya pasrah tanpa melakukan sebab sama sekali. Contohnya adalah seseorang yang meninggalkan istrinya berhari-hari untuk berdakwah keluar kota. Kemudian dia tidak meninggalkan sedikit pun harta untuk kehidupan istri dan anaknya. Lalu dia mengatakan, “Saya pasrah, biarkan Allah yang akan memberi rizki pada mereka”. Sungguh ini adalah suatu kesalahan dalam memahami takdir.

Ingatlah bahwa Allah memerintahkan kita untuk mengimani takdir-Nya, di samping itu Allah juga memerintahkan kita untuk mengambil sebab dan melarang kita bermalas-malasan. Apabila kita telah mengambil sebab, namun kita mendapatkan hasil yang sebaliknya, maka kita tidak boleh berputus asa dan bersedih karena hal ini sudah menjadi takdir dan ketentuan Allah. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu. Dan minta tolonglah pada Allah dan janganlah malas. Apabila kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu berkata: ‘Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’, tetapi katakanlah: ‘Qodarollahu wa maa sya’a fa’al’ (Ini telah ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya) karena ucapan’seandainya’ akan membuka (pintu) setan.” (HR. Muslim)

Buah Beriman Kepada Takdir

Di antara buah dari beriman kepada takdir dan ketetapan Allah adalah hati menjadi tenang dan tidak pernah risau dalam menjalani hidup ini. Seseorang yang mengetahui bahwa musibah itu adalah takdir Allah, maka dia yakin bahwa hal itu pasti terjadi dan tidak mungkin seseorang pun lari darinya.

Dari Ubadah bin Shomit, beliau pernah mengatakan pada anaknya, “Engkau tidak dikatakan beriman kepada Allah hingga engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk dan engkau harus mengetahui bahwa apa saja yang akan menimpamu tidak akan luput darimu dan apa saja yang luput darimu tidak akan menimpamu. Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takdir itu demikian. Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak beriman seperti ini, maka dia akan masuk neraka.” (Shohih. Lihat Silsilah Ash Shohihah no. 2439)

Maka apabila seseorang memahami takdir Allah dengan benar, tentu dia akan menyikapi segala musibah yang ada dengan tenang. Hal ini pasti berbeda dengan orang yang tidak beriman pada takdir dengan benar, yang sudah barang tentu akan merasa sedih dan gelisah dalam menghadapi musibah. Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk sabar dalam menghadapi segala cobaan yang merupakan takdir Allah.

Ya Allah, kami meminta kepada-Mu surga serta perkataan dan amalan yang mendekatkan kami kepadanya. Dan kami berlindung kepada-Mu dari neraka serta perkataan dan amalan yang dapat mengantarkan kami kepadanya. Ya Allah, kami memohon kepada-Mu, jadikanlah semua takdir yang Engkau tetapkan bagi kami adalah baik.

3 November 2009 Posted by | Uncategorized | | 1 Komen

ERTI KAWAN

kata mak,
KAWAN tu ibarat lebah,habis madu sepah dibuang…….

kata abah,
KAWAN tu umpama bunga ros, dipandang cantik dipegang sakit……

kata atuk,
KAWAN tu seperti air, terus me ngalir…..

kata nenek,
KAWAN tu bak bulan, dipuja dan disanjung tp nun jauh di sana ….

kate sedare,
kawan tu mcm makanan, kawan makan kawan!!

kata abang,
KAWAN tu seperti lembu, me ngikut saje ape dikata……..

kata kakak,
KAWAN tu tak ubah macam durian, bau je busuk tp sedap dimakan….

kata adik,
KAWAN tu macam biskut, sekejap ade sekejap takde…….

kata aku,
kawan tu tak kisahlah camner..
walaupun dia IBARAT LEBAH, UMPAMA BUNGA ROS, SEPERTI AIR, BAK
BULAN, SEPERTILEMBU, TAK UBAH MACAM DURIAN & MACAM BISKUT!!!

dia tetap kawan…
tau tak sebab ape???
sekali aku dah kawan ngan diaselamanye dia ttp kawan aku…
itu cara aku berkawan..!!

walaupun kita me mpunyai kekasih, tapi
teman tetap paling setia.

walaupun kita punyai harta yg banyak,
teman tetap paling berharga.

3 November 2009 Posted by | Uncategorized | | 1 Komen

PENGORBANAN

Apakah maksud istilah ini? Istilah seperti ini sering berkumandang di telinga terutamanya di musim Hari Raya Aidil Adha ini. Istilah sebesar ini semestinya membawa pengertian yang pelbagai dan boleh merungkai pelbagai maksud dan andaian yang tersendiri. Hakikatnya, pengorbanan adalah berlandaskan jiwa itu sendiri samada ianya menggambarkan niat sebenar dihati ataupun tidak.

Cuba kita lari dari memikirkan maksud besar istilah pengorbanan itu dan kita beralih kepada perbuatan yang menggambarkan pengorbanan itu sendiri. Pelbagai persoalan bermain di fikiran aku mengenai pengorbanan:-

Kita sering melalukan pengorbanan. Hakikatnya pengorbanan itu mestilah dilakukan dengan ikhlas. Ya, ikhlas, ayat yang amat tepat untuk orang yang betul-betul mampu untuk melaksanakannya. Bagi aku, yang hati tidak berapa teguh ini, kadang kala terfikir, adakah aku betul-betul ikhlas? Tidak adakah secebis perasaan seperti sesuatu pengorbanan itu memerlukan balasaan yang setimpal…secebis mungkin banyak…apa kata sekelumit perasaan? Sebagai manusia biasa, aku tidak mungkin lari daripada memikirkan semua itu. Bila sesuatu pengorbanan yang dilakukan itu tidak mendapat sekelumit ganjaran, kadang kala timbul perasaan tidak puas hati. Hurm, persoalan yang sukar untuk dijawab. Biarlah perasaan tidak puas hati itu wujud, aku percaya perasaan itu akan luput dan hilang bila masa berlalu. Memendam perasaan mungkin cara yang salah tapi mungkin juga cara yang terbaik bagi aku. Tepuk dada, tanya selera.

Oleh kerana iman dihati ini tidaklah setebal mana, kadang kala terpikir dunia ini tidak adil. Seringkali apabila mendengar orang berkata dunia tidak adil , kita sering mencantas kata-kata itu dengan mengatakan setiap yang berlaku ada hikmahnya dan kita harus bersabar. Memang benar, tapi bila sesuatu yang mengecewakan dan menghampakan berlaku keatas diri sendiri , barulah kita sedar meungkapkan kata-kata itu merupakan perkara yang mudah untuk dilakukan. Hurm, mungkin bersabar adalah perkara yang terbaik, dan ini mungkin salah satu pengorbanan. Alamilah sendiri, apabila memberi nasihat, letak diri dalam keadaan itu.

Apabila melakukan sesuatu pengorbanan, pada mulanya kita terfikir, pengorbanan itu kecil dan biasa sahaja. Apabila dibandingkan dengan orang lain, mengapa orang lain tidak melakukan perkara yang sama , dalam erti kata lain tidak melakukan pengorbanan macam kita lakukan, tetapi dia mempunyai kehidupan atau kesenangan yang lebih baik dalam hidupnya. Selepas itu kita akan terfikir, mengapa kita harus melakukan pengorbanan itu? Adilkah semua ini. Situasi semua ini memerlukan satu jawapan. Dan, bagi aku , aku mungkin telah temui jawapannya, semua perkara yang berlaku ada hikmahnya. Tapi jawapan itu hanya aku dapat setelah aku berfikir untuk sekian lama. Hurm…dunia.

Mungkin aku salah dalam mentafsirkan semua itu dan inilah aku, seorang insan biasa. Bagi orang yang sentiasa mempunya nasib yang baik dalam hidupnya, bersyukurkah dan jagalah apa yang diperolehi dengan sebaiknya . Tapi, bagi orang yang nasib sentiasa tidak menyebelahinya, bersabarlah dan ingatlah satu perkara, setiap perkara ada hikmah disebaliknya. Dunia hanya sementara, selagi kita bersabar dan redha, kehidupan yang lebih baik mungkin menanti kita di akhirat kelak. Inilah satu pengorbanan yang besar dalam hidup kita.

3 November 2009 Posted by | Uncategorized | | Tinggalkan komen

SAHABAT SEJATI

‘Teman yang paling baik adalah apabila kamu melihat wajahnya, kamu teringat akan Allah, mendengar kata-katanya menambahkan ilmu agama, melihat gerak-gerinya teringat mati..’

“Sebaik baik sahabat di sisi Allah ialah orang yang terbaik terhadap temannya dan sebaik baik jiran disisi Allah ialah orang yang terbaik terhadap jirannya” (H.R al-Hakim)

ALLAH SWT mencipta makhluk di atas muka bumi ini berpasang-pasangan. Begitu juga manusia, tidak akan hidup bersendirian. Kita tidak boleh lari dari berkawan dan menjadi kawan kepada seseorang. Jika ada manusia yang tidak suka berkawan atau melarang orang lain daripada berkawan, dia dianggap ganjil dan tidak memenuhi ciri-ciri sebagai seorang manusia yang normal.

Inilah antara hikmah, kenapa Allah SWT mencipta manusia daripada berbagai bangsa, warna kulit dan bahasa. Firman Allah SWT dalam surah al-Hujurat ayat 13, yang bermaksud:

“Wahai umat manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari lelaki dan perempuan, dan Kami telah menjadikan kamu berbagai bangsa dan berpuak-puak, supaya kamu berkenal-kenalan (dan beramah mesra antara satu sama lain). Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah orang lebih bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Mendalam PengetahuanNya.”

Dalam Islam faktor memilih kawan amat dititikberatkan. Hubungan persahabatan adalah hubungan yang sangat mulia, kerana kawan atau sahabat berperanan dalam membentuk personaliti individu. Ada kawan yang sanggup bersusah-payah dan berkongsi duka bersama kita, dan tidak kurang juga kawan yang nampak muka semasa senang dan hanya sanggup berkongsi kegembiraan sahaja.

Pendek kata sahabat boleh menentukan corak hidup kita. Justeru, jika salah pilih sahabat kita akan merana dan menerima padahnya. Selari dengan hadith Rasululah saw yang bermaksud: “Seseorang itu adalah mengikut agama temannya, oleh itu hendaklah seseorang itu meneliti siapa yang menjadi temannya” (H.R Abu Daud).

Bak kata pepatah Arab, “Bersahabat dengan penjual minyak wangi, kita akan menerima percikan wangiannya, manakala bersahabat dengan tukang besi, percikan apinya akan mencarikkan baju kita.”

Apakah ciri-ciri seorang sahabat yang baik?

Seorang bijak pandai berpesan kepada anak lelakinya: “Wahai anakku, sekiranya engkau berasa perlu untuk bersahabat dengan seseorang, maka hendaklah engkau memilih orang yang sifatnya seperti berikut:

* Jika engkau berbakti kepadanya, dia akan melindungi kamu;
* Jika engkau rapatkan persahabatan dengannya, dia akan membalas balik persahabatan kamu;
* Jika engkau memerlu pertolongan daripadanya, dia akan membantu kamu;
* Jika engkau menghulurkan sesuatu kebaikan kepadanya, dia akan menerimanya dengan baik;
* Jika dia mendapat sesuatu kebajikan (bantuan) daripada kamu, dia akan menghargai atau menyebut kebaikan kamu;
* Jika dia melihat sesuatu yang tidak baik daripada kamu, dia akan menutupnya;
* Jika engkau meminta bantuan daripadanya, dia akan mengusahakannya;
* Jika engkau berdiam diri (kerana malu hendak meminta), dia akan menanyakan kesusahan kamu;
* Jika datang sesuatu bencana menimpa dirimu, dia akan meringankan kesusahan kamu;
* Jika engkau berkata kepadanya, nescaya dia akan membenarkan kamu;
* Jika engkau merancangkan sesuatu, nescaya dia akan membantu kamu;
* Jika kamu berdua berselisih faham, nescaya dia lebih senang mengalah untuk menjaga kepentingan persahabatan;
* Dia membantumu menunaikan tanggungjawab serta melarang melakukan perkara buruk dan maksiat;
* Dia mendorongmu mencapai kejayaan di dunia dan akhirat.

Sebagai remaja yang terlepas daripada pandangan ayah ibu berhati-hatilah jika memilih kawan. Kerana kawan, kita bahagia tetapi kawan juga boleh menjahanamkan kita.

Hati-hatilah atau tinggalkan sahaja sahabat seperti dibawah:

* Sahabat yang tamak: ia sangat tamak, ia hanya memberi sedikit dan meminta yang banyak, dan ia hanya mementingkan diri sendiri.

* Sahabat hipokrit: ia menyatakan bersahabat berkenaan dengan hal-hal lampau, atau hal-hal mendatang; ia berusaha mendapatkan simpati dengan kata-kata kosong; dan jika ada kesempatan membantu, ia menyatakan tidak sanggup.

* Sahabat pengampu: Dia setuju dengan semua yang kamu lakukan tidak kira betul atau salah, yang parahnya dia setuju dengan hal yang dia tidak berani untuk menjelaskan kebenaran, di hadapanmu ia memuji dirimu, dan di belakangmu ia merendahkan dirimu atau mengkhianati amanahmu. Bila telah di percayai, dia khianati. Bila telah di cintai, dia dustakan.

* Sahabat pemboros dan suka hiburan: ia menjadi kawanmu jika engkau suka berpesta, suka berkeliaran dan ‘melepak’ pada waktu yang tidak sepatutnya, suka ke tempat-tempat hiburan dan pertunjukan yang melalaikan.

* Sahabat yang membawamu semakin jauh dari Allah. Seorang yang tidak menambah kebajikanmu di dunia, lebih2 lagi di akhirat. Seorang yang tidak menambah manfaat kehidupanmu di akhirat, bukanlah temanmu yang sebenar.

Hati-hatilah memilih kawan, kerana kawan boleh menjadi cermin peribadi seseorang. Berkawanlah kerana Allah untuk mencari redha-Nya.

3 November 2009 Posted by | Uncategorized | | Tinggalkan komen

PUISI CINTA

PUITIS

3 November 2009 Posted by | Uncategorized | | Tinggalkan komen

TANDA-TANDA EGO

Sedikit sangat orang yang memiliki sifat ego, yang dia menyedari bahawa dirinya memiliki sifat keji tersebut. Natijah tidak menyedari adanya ego itulah maka tercetus berbagai perselisihan dan sengketa di dalam masyarakat. Ini berpunca kerana masing-masing diri dengan sifat ego tersebut bertembung dengan orang lain yang juga memiliki sifat yang sama. Dalam Keadaan mereka sama-sama pula tidak menyedari memiliki sifat ego.

Untuk mengetahui samada memiliki sifat ego atau tidak maka perlulah disuluh dengan ilmunya. Ilmu yang menjelaskan tentang ciri-ciri ego tersebut. Namun begitu bukanlah mudah untuk membuang sifat ego itu biarpun sudah mengetahui ciri-cirinya. Kerana ego adalah sifat keji pada batin. Ego adalah salah satu mazmumah yang bersarang di hati. Sebarang mazmumah bukan mudah hendak dikikis atau dipadamkan. Mazmumah tidak seperti penyakit lahiriah yang mudah diubat. Doktor malah doktor pakar memang bersedia merawat penyakit lahiriah. Penyakit batin atau mazmumah hanya boleh dirawat oleh mursyid yang benar-benar arif. Mursyid inilah yang sangat sukar ditemui. Betapalah pula manusia kini sudah tidak peduli dan tidak berminat untuk mengubati penyakit batin.

Sifat ego adalah penyakit batin. Ianya adalah abstrak atau maknawiyah, yang tidak dapat dilihat dengan mata kasar. Namun tetap dapat dikesan melalui tanda-tanda lahiriah pada sikap seseorang itu. Atau dengan kata lain, sifat ego itu ada manifestasi atau implikasinya. Berdasarkan sikap dan tanda-tanda yang terserlah itulah dapat mengenali seseorang itu memiliki sifat ego. Di antara ciri-ciri ego itu adalah seperti berikut :-

Menolak Tuhan. Inilah peringkat paling tinggi keegoan manusia. Tidak mahu mengakui akan kewujudan Tuhan ini yang menjadikan mereka berada di dalam kekufuran.
Menolak kebenaran. Biarpun terdapat golongan yang mengakui kewujudan Tuhan namun mereka yang salah faham akan keliru tentang Tuhan turut meletakkan diri mereka di dalam kekufuran. Turut berada di dalam kategori ini ialah mereka yang menolak kerasulan Nabi Muhammad SAW. Terdapat pula yang mengakui Allah SWT dan kerasulan Nabi Muhammad, namun mereka menolak kebenaran ajaran Allah SWT dan Rasulullah SAW. Mereka yang seumpama ini boleh jatuh kepada murtad atau kufur. Penolakan atas dasar lemah iman dan tidak boleh melawan tuntutan nafsu, syaitan dan kepentingan dunia maka kedudukan mereka sebagai zalim. Andainya berpunca dari kejahilan, namun tidak terlepas juga sebagai mereka yang ego tinggi yang dihukumkan sebagai fasik.
Golongan ini pula sangat meremehkan dosa pahala dan tidak suka memperkatakannya. Apa sahaja yang dibuat tidak mahu dikaitkan dengan persoalan dosa pahala atau halal haram. Keegoan mereka ini seolah-olah mahu bebas. Tidak mahu adanya sebarang keterikatan dengan hukum Allah SWT. Begitu juga dalam kontek kekuasaan Allah SWT, mereka tidak mahu mengaitkan sesuatu peristiwa atau perkara itu dengan bukti kekuasaan allah SWT yang Maha Kuasa. Sesuatu kejadian samada kejayaan, kegagalan mahupun musibah pada mereka lebih nampak kepada sebab atau faktor kejadian tersebut. Dalam soal usaha ikhtiar, mungkin juga boleh diterima sebagai faktor sebab yang terhasilnya sesuatu yang hakikatnya dengan izin Allah SWT. Apa yang anehnya sebagai memperlihatkan ego adalah bencana alam seperti gempa bumi, banjir, kemarau, jerebu, tanah runtuh yang sifatnya tidak ada campur tangan manusia, pun tidak mahu disandarkan kepada kekuasaan Allah SWT. Lantas dengan cepat mereka mengatakan itu semua adalah lumrah alam atau perkara biasa.
Tidak mahu menerima dari orang atau pihak lain. Seolah-olah merasa rendah atau tercabar atau terhina andainya kebenaran itu keluar dari mulut orang lain. Lebih-lebih lagi sekiranya sesuatu yang benar itu datangnya daripada orang bawahannya atau orang yang dianggap status sosialnya lebih rendah.
Ego juga dapat dilihat bilamana seringkali menzalimi orang lain apabila seseorang itu memiliki kuasa. Dia akan gunakan kuasa itu bukan sebagai amanah atau tanggungjawab tetapi sebagai peluang untuk menindas atau mendatangkan kesusahan kepada orang lain. Andainya roda pusingan kehidupan menjadikan gilirannya pula berada di bawah atau menjadi pengikut, ketika itu dia akan menjadi orang yang paling sukar untuk taat setia kepada pihak atasannya. Egonya itu membuatkan dia menjadi amat sukar untuk tunduk kepada peraturan dan perintah ketuanya.
Sering sahaja bercekak pinggang sebagai gambaran membesar diri. Sifat egonya itu terzahir dalam perbuatan bercekak pinggang biarpun tanpa disedarinya.
Payah hendak bertegur sapa kecuali kalau orang lain mendahuluinya. Dia merasakan tidak layak untuk menghormati orang lain seolah-olah orang lain yang patut menghormati dirinya.
Isi perbualan atau percakapannya sering saja melebihkan diri biarpun dalam nada tutur kata yang lunak. Apatah lagi bila ada peluang bercakap besar dan lantang.
Selalu berwajah serius dan masam. Ditambah pula dengan sikap yang kurang mesra.
Sangat memilih kawan terutamanya di kalangan orang yang setaraf sahaja. Kadang-kadang lebih suka berada di tengah-tengah orang yang lebih rendah bukan kerana merendah diri tetapi mengharapkan agar dirinya kelihatan lebih menonjol. Dan begitulah sebaliknya cuba mengelak berkawan dengan orang yang lebih atas kerana tidak mahu kelihatan dirinya rendah.
Sangat mudah tercabar oleh kebaikan orang lain. Apatah lagi apabila dicabar maka sangat tidak dapat menguasai emosi. Mudahnya tercabar itu samada akan memberi tindak-balas atau terus merajuk dan membawa hati.
Mudah menjadi marah terutamanya kalau orang lain yang membuat silap, lebih-lebih lagi kalau kesilapan itu tertimpa ke atas dirinya.
Kalau dia terbukti bersalah sangat sukar untuk meminta maaf. Dan apabila orang lain yang bersalah pula sangat sukar memaafkan.
Tidak boleh ditegur atau tidak mahu menerima teguran. Teguran boleh menyebabkan dia sakit hati malah timbul dendam terhadap orang yang menegurnya.
Sangat suka dipuji malah sentiasa menunggu-nunggu sahaja akan pujian orang kepadanya. Kalau dia mendengar pujian terhadap orang lain di hadapannya maka timbul sakit hati kepada orang yang memuji itu dan sakit hati kepada orang yang dipujinya.
Sangat suka berbahas. Dalam perbahasan pula sering meninggikan suara. Berbahas pula bukan hendak mencari kebenaran tetapi hendakkan kemenangan walaupun salah.

Kesan sifat ego ini sangat merbahaya dan dahsyat. Lihat sahajalah Firaun, Namrud dan Hamman, kerana egolah mereka sanggup menderhakai Tuhan. Bahkan sanggup mati di dalam kekufuran. Biarpun berbagai bencana Tuhan datangkan sebagai amaran dan ancaman, semuanya tidak menjadi pengajaran, iktibar dan ingatan. Apalah ertinya mempertahankan ‘kenikmatan’ ego itu sedangkan menanggung seksa dan laknat Allah SWT

2 November 2009 Posted by | Uncategorized | | 2 Komen

TAWAKKAL

Dari Umar bin Khattab r.a. berkata, bahwa beliau mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sekiranya kalian benar-benar bertawakal kepada Allah swt. dengan tawakal yang sebenar-benarnya, sungguh kalian akan diberi rezeki (oleh Allah swt.), sebagaimana seekor burung diberi rezeki; ia pergi pagi hari dalam keadaan lapar, dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang. (HR. Ahmad, Turmudzi dan Ibnu Majah)

Sekilas tentang Hadits

Hadits ini merupakan hadits marfu’ dari Umar bin Khattab r.a., yang diriwayatkan melalui jalur sanad Abdullah bin Hubairah, dari Abu Tamim Al-Jaisyani, dari Umar bin Khattab, dari Rasulullah saw., diriwayatkan oleh:

* Imam Turmudzi dalam Sunan/ Jami’nya, Kitab Al-Zuhud An Rasulillah saw., Bab Fi Attawakkal Alallahi, hadits no 2344.
* Imam Ibnu Majah dalam sunnannya, Kitab Al-Zuhud, Bab Attawakkal Wal Yaqin, hadits no 4164.
* Imam Ahmad bin Hambal dalam tiga tempat dalam musnadnya, yaitu pada hadits nomor 205, 372, dan 375.

Makna Hadits Secara Umum

Hadits di atas menjelaskan tentang hakekat tawakal dengan perumpamaan seekor burung. Dimana burung pergi (baca ; mencari karunia Allah) pada pagi hari dengan perut kosong karena lapar, namun di sore hari ia pulang dalam keadaan perut kenyang dan terisi penuh. Karena pada hakekatnya Allah swt.-lah yang memberikan rezekinya sesuai dengan kebutuhannya. Demikian juga manusia, sekiranya manusia benar-benar bertawakal kepada Allah swt. dengan mengamalkan hakekat tawakal yang sesungguhnya, tentulah Allah swt. akan memberikan rezeki sebagaimana seekor burung yang berangkat pagi hari dengan perut kosong dan pulang sore hari dengan perut kenyang. Artinya, insya Allah rezekinya akan Allah cukupi.

Makna dan Hakikat Tawakal

Dari segi bahasa, tawakal berasal dari kata ‘tawakala’ yang memiliki arti; menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan. (Munawir, 1984 : 1687). Seseorang yang bertawakal adalah seseorang yang menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan segala urusannya hanya kepada Allah swt.

Sedangkan dari segi istilahnya, tawakal didefinisikan oleh beberapa ulama salaf, yang sesungguhnya memiliki muara yang sama. Di antara definisi mereka adalah:

1. Menurut Imam Ahmad bin Hambal.

Tawakal merupakan aktivitas hati, artinya tawakal itu merupakan perbuatan yang dilakukan oleh hati, bukan sesuatu yang diucapkan oleh lisan, bukan pula sesuatu yang dilakukan oleh anggota tubuh. Dan tawakal juga bukan merupakan sebuah keilmuan dan pengetahuan. (Al-Jauzi/ Tahdzib Madarijis Salikin, tt: 337)

2. Ibnu Qoyim al-Jauzi

“Tawakal merupakan amalan dan ubudiyah (baca; penghambaan) hati dengan menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah, tsiqah terhadap-Nya, berlindung hanya kepada-Nya dan ridha atas sesuatu yang menimpa dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan memberikannya segala ‘kecukupan’ bagi dirinya…, dengan tetap melaksanakan ‘sebab-sebab’ serta usaha keras untuk dapat memperolehnya.” (Al-Jauzi/ Arruh fi Kalam ala Arwahil Amwat wal Ahya’ bidalail minal Kitab was Sunnah, 1975 : 254)

Sebagian ulama salafuna shaleh lainnya memberikan komentar beragam mengenai pernak pernik takawal, diantaranya adalah ungkapan: Jika dikatakan bahwa Dinul Islam secara umum meliputi dua aspek; yaitu al-isti’anah (meminta pertolongan Allah) dan al-inabah (taubat kepada Allah), maka tawakal merupakan setengah dari komponen Dinul Islam. Karena tawakal merupakan repleksi dari al-isti’anah (meminta pertolongan hanya kepada Allah swt.): Seseorang yang hanya meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah, menyandarkan dirinya hanya kepada-Nya, maka pada hakekatnya ia bertawakal kepada Allah.

Salafus saleh lainnya, Sahl bin Abdillah al-Tasattiri juga mengemukakan bahwa ‘ilmu merupakan jalan menuju penghambaan kepada Allah. Penghambaan merupakan jalan menuju kewara’an (sifat menjauhkan diri dari segala kemaksiatan). Kewaraan merupakan jalan menuju kezuhudan. Dan kezuhudan merupakan jalan menuju ketawakalan. (Al-Jauzi, tt : 336)

Tawakal sangat diperhatikan dalam Islam. Oleh karena itulah, banyak sekali ayat-ayat ataupun hadits-hadits yang memiliki muatan mengenai tawakal kepada Allah swt. Demikian juga para salafus shaleh, juga sangat memperhatikan masalah ini. Sehingga mereka memiliki ungkapan-ungkapan khusus mengenai tawakal.

Derajat Tawakal

Tawakal merupakan gabungan berbagai unsur yang menjadi satu, dimana tawakal tidak dapat terealisasikan tanpa adanya unsur-unsur tersebut. Unsur-unsur ini juga merupakan derajat dari tawakal itu sendiri:

1. Ma’rifat kepada Allah swt. dengan segala sifat-sifat-Nya minimal meliputi tentang kekuasaan-Nya keagungan-Nya, keluasan ilmu-Nya, keluasan kekayaan-Nya, bahwa segala urusan akan kembali pada-Nya, dan segala sesuatu terjadi karena kehendak-Nya, dsb.

2. Memiliki keyakinan akan keharusan melakukan usaha. Karena siapa yang menafikan keharusan adanya usaha, maka tawakalnya tidak benar sama sekali. Seperti seseorang yang ingin pergi haji, kemudian dia hanya duduk di rumahnya, maka sampai kapanpun ia tidak akan pernah sampai ke Mekah. Namun hendaknya ia memulai dengan menabung, kemudian pergi kesana dengan kendaraan yang dapat menyampaikannya ke tujuannya tersebut.

3. Adanya ketetapan hati dalam mentauhidkan (mengesakan) Dzat yang ditawakali, yaitu Allah swt. Karena tawakal memang harus disertai dengan keyakinan akan ketauhidan Allah. Jika hati memiliki ikatan kesyirikan dengan sesuatu selain Allah, maka batallah ketawakalannya.

4. Menyandarkan hati sepenuhnya hanya kepada Allah swt., dan menjadikan situasi bahwa hati yang tenang hanyalah ketika mengingatkan diri kepada-Nya. Hal ini seperti kondisi seorang bayi, yang hanya bisa tenang dan tentram bila berada di susuan ibunya. Demikian juga seorang hamba yang bertawakal, dia hanya akan bisa tenang dan tentram jika berada di ‘susuan’ Allah swt.

5. Husnudzan (baca: berbaik sangka) terhadap Allah swt. Karena tidak mungkin seseorang bertawakal terhadap sesuatu yang dia bersu’udzan kepadanya. Tawakal hanya dapat dilakukan terhadap sesuatu yang dihusndzani dan yang diharapkannya.

6. Memasrahkan jiwa sepenuhya hanya kepada Allah swt. Karena orang yang bertawakal harus sepenuh hatinya menyerahkan segala sesuatu terhadap yang ditawakali. Tawakal tidak akan mungkin terjadi, jika tidak dengan sepenuh hati memasrahkan hatinya kepada Allah.

7. Menyerahkan, mewakilkan, mengharapkan, dan memasrahkan segala sesuatu hanya kepada Allah swt. Dan hal inilah yang merupakan hakekat dari tawakal. (Ghaafir : 44)

Tawakal Dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an sangat menaruh perhatian terhadap permasalahan tawakal ini. Kita mendapatkan bahwa setidaknya terdapat 70 kali, kata tawakal disebut oleh Allah dalam Al-Qur’an. Jika disimpulkan ayat-ayat tersebut mencakup tema berikut:

1. Tawakal merupakan perintah Allah swt.

“Dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Anfal: 61). Lihat juga Ar-Ra’d: 123; Al-Furqaan: 58, Asy-Syu’araa: 217, An-Naml: 79, Al-Ahzab: 3 dan 48.

2. Larangan bertawakal selain kepada Allah (menjadikan selain Allah sebagai penolong) (Al-Isra: 2)

3. Orang yang beriman; hanya kepada Allah lah ia bertawakal (Ali Imran: 122). Lihat juga Ali Imran: 160, Al-Maidah: 11 dan 23, Al-A’raf: 89, Al-Anfal: 2, At-Taubah: 51, Al-Mujaadilah: 10, At-Taghabun: 13.

4. Tawakal harus senantiasa mengiringi suatu azam (baca: keingingan/ambisi positif yang kuat) (Ali Imran: 159)

5. Allah sebaik-baik tempat untuk menggantungkan tawakal (pelindung) (Ali Imran: 173). Lihat juga An-Nisa: 81, 109, 132, dan 171.

6. Akan mendapatkan perlindungan, pertolongan dan anugerah dari Allah (Al-Anfal: 49). Lihat juga Al-Isra: 65.

7. Mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat (surga) (An-Nahl: 41-42). Lihat juga Al-Ankabut: 58-59.

8. Allah akan mencukupkan orang yang bertawakal kepada-Nya. (Ath-Thalaaq: 3)

Tawakal Dalam Hadits

Selain dalam Al-Qur’an, dalam hadits pun, tawakal memiliki porsi yang sangat banyak. Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi mencantumkan 11 hadits. Dalam kitab lain, sekitar 900-an hadits yang terdapat kata yang berasal dari kata tawakal –dari 9 kitab hadits induk, yaitu Shahih Bukhari, Muslim, Sunan Abu Daud, Timidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Addarimi, Muwatha’ Malik dan Musnad Imam Ahmad bin Hambal. Sebelas hadits yang dicantumkan Imam Nawawi dalam Riyadus Shalihin telah mencakup sebagian besar hadits-hadits tentang tawakal. Dari hadits-hadits tentang tawakal ini, kita dapat menyimpulkan beberapa poin:

1. Orang yang bertawakal hanya kepada Allah, akan masuk surga tanpa hisab.

Dalam hadits Rasulullah saw. bersabda: Dari Abdullah bin Abbas r.a., Rasulullah saw. bersabda: Telah ditunjukkan kepadaku keadaan umat yang dahulu, hingga saya melihat seorang nabi dengan rombongan yang kecil, dan ada nabi yang mempunyai pengikut satu dua orang, bahkan ada nabi yang tiada pengikutnya. Mendadak telihat padaku rombongan yang besar (yang banyak sekali), saya kira itu adalah umatku, namun diberitahukan kepadaku bahwa itu adalah Nabi Musa a.s. beserta kaumnya. Kemudian dikatakan kepadaku, lihatlah ke ufuk kanan dan kirimu, tiba-tiba di sana saya melihat rombongan yang besar sekali. Lalu dikatakan kepadaku, Itulah umatmu, dan di samping mereka ada tujuh puluh ribu yang masuk surga tanpa perhingungan (hisab).

Setelah itu Nabi bangun dan masuk ke rumahnya, sehingga orang-orang banyak yang membicarakan mengenai orang-orang yang masuk surga tanpa hisab itu. Ada yang berpendapat; mungkin mereka adalah sahabat-sahabat Rasulullah saw. Ada pula yang berpendapat, mungkin mereka yang lahir dalam Islam dan tidak pernah mempersekutukan Allah, dan ada juga pendapt-pendapat lain yang mereka sebut.

Kemudian Rasulullah saw. keluar menemui mereka dan bertanya, ‘Apakah yang sedang kalian bicarakan?’ Mereka memberitahukan segala pembicaraan mereka. Beliau bersabda, ‘Mereka tidak pernah menjampi atau dijampikan dan tidak suka menebak nasib dengan perantaraan burung, dan hanya kepada Rabb-nya lah, mereka bertawakal.”

Lalu bangunlah Ukasyah bin Mihshan dan berkata, ‘Ya Rasulullah saw., doakanlah aku supaya masuk dalam golongan mereka.’ Rasulullah saw. menjawab, ‘Engkau termasuk golongan mereka.’ Kemudian berdiri pula orang lain, dan berkata, ‘Doakan saya juga supaya Allah menjadikan saya salah satu dari mereka.’ Rasulullah saw. menjawab, ‘Engkau telah didahului oleh Ukasyah.” (Bukhari & Muslim)

2. Tawakal merupakan sunnah Rasulullah saw.

Rasulullah saw. sendiri senantiasa menggantungkan tawakalnya kepada Allah swt. Salah satu contohnya adalah bahwa beliau selalu mengucapkan doa-doa mengenai ketawakalan dirinya kepada Allah swt.: Dari Ibnu Abbas r.a., bahwa Rasulullah saw. senantiasa berdoa, “Ya Allah, hanya kepada-Mu lah aku menyerahkan diri, hanya kepada-Mu lah aku beriman, hanya kepada-Mu lah aku bertawakal, hanya kepada-Mu lah aku bertaubat, hanya karena-Mu lah aku (melawan musuh-musuh-Mu). Ya Allah, aku berlindung dengan kemuliaan-Mu dimana tiada Tuhan selain Engkau, janganlah Engkau menyesatkanku. Engkau Maha Hidup dan tidak pernah mati, sedangkan jin dan manusia mati.” (Muslim)

3. Allah merupakan sebaik-baik tempat untuk bertawakal.

Dalam hadits Rasulullah saw. bersabda: Dari Ibnu Abbas r.a., “Hasbunallah wani’mal Wakil’ kalimat yang dibaca oleh Nabi Ibrahim a.s. ketika dilempar ke dalam api, dan juga telah dibaca oleh Nabi Muhammad saw. ketika diprovokasi oleh orang kafir, supaya takut kepada mereka; ‘sesungguhnya manusia telah mengumpulkan segala kekuatannya untuk menghancurkan kalian, maka takutlah kamu dan janganlah melawan, tapi orang-orang beriman bertambah imannya dan membaca, Hasbunallah wa ni’mal Wakil (cukuplah Allah yang mencukupi kami dan cukuplah Allah sebagai tempat kami bertawakal.” (Bukhari)

4. Tawakal akan mendatangkan nasrullah.

Ini sebagaimana yang terdapat dalam hadits no 5, dalam kitab Riyadhus Shalihin. Dimana dikisahkan pada saat Perang Dzatur-riqa’, ketika Rasulullah saw. sedang beristirahat di bawah sebuah pohon, sedangkan pedang beliau tergantung di pohon. Ketika tiba-tiba datang seorang musyrikin yang mengambil pedang beliau sambil berkata, siapa yang dapat melindungimu dariku? Namun dengan sangat tenang Rasulullah saw menjawab, ‘Allah.’ Setelah tiga kali bertanya, tiba-tiba pedang yang dipegangnya jatuh. Lalu Rasulullah saw. mengambil pedang tersebut seraya bertanya, ‘Sekarang siapakah yang dapat melindungimu dariku?’

5. Tawakal yang benar tidak akan menjadikan seseorang kelaparan.

Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda: Dari Umar r.a., aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sekiranya kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnya, pastilah Allah akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Allah memberi rezeki pada seekor burung. Pergi pagi hari dalam keadaan perut kosong, dan pulang sore hari dalam keadaan perut kenyang.” (Tirmidzi)

6. Tawakal setelah usaha.

Dalam sebuah hadits diriwayatkan: Dari Anas bin Malik r.a., ada seseorang berkata kepada Rasulullah saw. “Wahai Rasulullah saw., aku ikat kendaraanku lalu aku bertawakal, atau aku lepas ia dan aku bertawakal?” Rasulullah saw. menjawab, “Ikatlah kendaraanmu lalu bertawakallah.” (HR. Tirmidzi)

Tawakal yang merupakan perintah Allah dan sunnah Rasulullah saw., jika dilakukan dengan baik dan benar, insya Allah tidak akan menjadikan seorang hamba menjadi hina dan tidak memiliki apa-apa. Karena tawakal tidak identik dengan kepasrahan yang tidak beralasan. Namun tawakal harus didahului dengan usaha yang maksimal. Hilangnya usaha, berarti hilanglah hakikat dari tawakal itu.

2 November 2009 Posted by | Uncategorized | | Tinggalkan komen

Hadiah Malam Jumaat

Pengalaman Salih Al Mazi

Pada suatu malam bertepatan malam Jumaat Salih Al Mazi pergi ke masjid jamik untuk mengerjakan solat subuh. Kebiasaannya ia berangkat awal sebelum masuk waktu subuh dan melalui sebuah pekuburan. Di situ Salih duduk sekejap sambil membaca apa-apa yang boleh mendatangkan pahala bagi ahli kubur memandangkan waktu subuh masih lama lagi. Tiba-tiba dia tertidur dan bermimpi melihat ahli-ahli kubur keluar beramai-ramai dari kubur masing-masing.

Mereka duduk dalam kumpulan-kumpulan sambil berbual-bual sesama mereka. Al Mazy ternampak seorang pemuda ahli kubur memakai baju kotor serta tidak berkumpul dengan ahli-ahli kubur yang lain. Dia duduk seorang diri di tepi kuburnya dengan wajah murung, gelisah kerana sedih.

Tidak berapa lama kemudian datang malaikat membawa beberapa talam yang ditutup dengan saputangan. Seolah-olah seperti cahaya yang gemerlapan.

Malaikat mendatangi para ahli kubur dengan membawa talam-talam itu, tiap seorang mengambil satu talam dan dibawanya masuk ke dalam kuburnya.

Semua ahli kubur mendapat satu talam seorang sehingga tinggallah si pemuda yang kelihatan sedih itu seorang diri tidak mendapat apa-apa.

Dengan perasaan yang sedih dan duka dia bangun dan masuk semula ke dalam kuburnya.

Tapi sebelum dia masuk Al Mazy yang bermimpi segera menahannya untuk bertanyakan keadaannya. “Wahai hamba Allah ! Aku lihat engkau terlalu sedih mengapa?” tanya Salih Al Mazy. “Wahai Salih, adakah engkau lihat talam-talam yang dibawa masuk oleh malaikat sebentar tadi?” tanya pemuda itu. “Ya aku melihatnya. Tapi apa benda di dalam talam-talam itu ?” tanya Al Mazy lagi. Si pemuda menerangkan bahwa talam-talam itu berisi hadiah orang-orang yang masih hidup untuk orang-orang yang sudah mati yang terdiri dari pahala sedekah, bacaan ayat-ayat suci Al Quran dan doa. Hadiah-hadiah itu selalunya datang setiap malam Jumaat atau pada hari Jumaat. Si pemuda kemudian menerangkan tentang dirinya dengan panjang lebar.

Katanya dia ada seorang ibu yang masih hidup di alam dunia bahkan telah berkahwin dengan suami baru. Akibatnya dia lupa untuk bersedsekah untuk anaknya yang sudah meninggal dunia sehingga tidak ada lagi orang yang mengingati si pemuda. Maka sedihlah si pemuda setiap malam dan hari jumaat apabila melihat orang-orang lain menerima hadiah sedangkan dia seorang tidak menerimanya.

Al-Mazy sangat kasihan mendengarkan cerita si pemuda. lalu ia bertanya nama dan alamat ibunya ia dapat menyampaikan keadaan anaknya. Si pemuda menerangkan sifat2 ibunya. Kemudian Al Maizy terjaga. Pada sebelah paginya Al Maizy terus pergi mencari alamat ibu pemuda tersebut. Setelah mencari kesana kemari beliaupun berjumpa ibu sip pemuda tersebut lantas menceritakan perihal mimpinya.

Ibunya menangis mendengar keterangan Al maizy mengenai nasib anaknya yang merana di alam barzah. Kemudian ia berkata :”wahai salih ! Memang betul dia adalah anakku. Dialah belahan hatiku, dia keluar dari dalam perutku.

Dia membesar dengan minum susu dari dadaku dan ribaanku inilah tempat dia berbaring dan tidur ketika kecilnya.” Al Maizy turut sedih melihat keadaan ibu yang meratap dan menangis penuh penyesalan kerna tidak ingat untuk mendoakan anaknya selama ini.

“Kalau begitu saya mohon minta diri dahulu.” kata Al maizy lalu bangun meninggalkan wanita tersebut. Tatkala dia cuba untuk melangkah si ibu menahannya agar jangan pulang dahulu. Dia masuk kedalam biliknya lalu keluar dengan membawa wang sebanyak seribu dirham. “Wahai Salih, ambil wang ini dan sedekahkanlah untuk anakku, cahaya mataku. Insya Allah aku tidak akan melupakannya untuk berdoa dan bersedekah untukya selama aku masih hidup.”

Salih Al Maizy mengambil wang itu disedekahkannya kepada fakir miskin sehingga tidak sesenpun dari seribu dirham itu yang tinggal. Dilakukannya semua itu sebagai memenuhi amanah yang diberi kepadanya oleh ibu pemuda tersebut.

Pada suatu malam Jumaat di belakang selepas itu, Al Maizy berangkat ke masjid jamik untuk solat jamaah. Dalam perjalanan sebagaimana biasa ia singgah di perkuburan. Di situlah ia terlena sekejap dan bermimpi melihat ahli-ahli kubur keluar dari kubur masing2. Si pemuda yang dulnya kelihatan sedih seorang diri kini keluar bersama-sama dengan memakai pakaian putih yang cantik serta mukanya kelihatan sangat gumbira. Pemuda tersebut mendekati Salih Al Maizy seraya berkata :

“Wahai tuan Salih, aku ucapkan terima kasih kepadamu. Semoga Allah membalas kebaikanmu itu.

” “Hadiah dari ibuku telah ku terima pada hari jumaat.” katanya lagi. “Eh, Engkau boleh mengetahui hari Jumaat ?” tanya Al Maizy.

“Ya, Tahu.” “Apa tandanya ?” “Jika burung-burung di udara berkicau dan berkata “Selamat selamat pada hari yang baik ini, yakni hari Jumaat.”

Salih Al Maizy terjaga dari tidurnya. Ia cuba mengingati mimpinya dan merasa gumbira kerana sipemuda telah mendapat rahmat dari Allah disebabkan sedekah dan doa dari ibunya.

2 November 2009 Posted by | Uncategorized | | Tinggalkan komen